Kraton
PUSAT KOTA
Dinamika Masyarakat
Kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan kawasan yang terletak di tengah-tengah kota Yogyakarata, dan bisa dibilang sebagai pusat dari kota Yogyakarta. Dan jika dilihat dari pembangunannya, pola ruang kota Yogyakarta dari arah timur-barat, karena konsep Catur Gatra Tunggal, hubungan sosial dan ekonomi, ada di Arah Timur dan Barat. Pada zaman dulu keraton difungsikan sebagai tempat tinggal para raja, di dalamnya terdapat komplek kesatriaan yang dijadikan sebagai sekolah bagi para putra sultan. Keraton Yogyakarta dianggap suci karena diapit enam sungai secara simetris yaitu sungai Code, Gajah Wong, Opak Winongo, Bedhog dan sungai Progo.Wujud Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah berbentuk sebuah kawasan dengan luas 14.000 meter persgi, yang terdiri dari bangunan-bangunan induk, dan penunjang serta halaman dan lapangan. Masing-masing bangunan ini memiliki arti, sesuai dengan fungsi bangunannya. Bangunan-bangunan inti yang ada di Keraton adalah :sebuah.
- Alun-alun Selatan
- Sasana Inggil
- Bangsal Kemandungan
- Bangsal Kemagangan
- Kedaton/ Prabayeksa
- Bangsal Kencana
- Bangsal Sri Manganti
- Bangsal Ponconiti
- Bangsal Witono
- Siti Inggil
- Tarub Agung
- halamanlaran
- Alun-alun Utara.
Diantara satu bangunan dengan bangunan lainnya di pintu gerbang (Regol) yang memiliki arti dan maksud pula. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sampai saat ini masih menggambarkan sosoknya, dan saat ini berubah menjadi tempat wisata, museum pusat kebudayaan Jawa, dan sebagai tempat tinggal Sultan.Bagian KratonAlun-alun Kidul (Selatan)Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun - alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran . Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun - alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton . Menurut sejarahnya, alun-alun Kidul dibuat untuk mengubah suasana bagian belakang keraton menjadi seperti bagian depan karena Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan laut Selatan Pulau Jawa jika ditarik dalam satu garis imajiner akan menjadi satu garis lurus. Agar posisi Keraton Yogyakarta tidak seperti membelakangi laut Selatan, maka dibangunlah Alun-alun Selatan.Alun-alun Kidul ditumbuhi rumput dan di sekelilingnya telah diberi jalan beraspal , amaran pasir yang luas disertai dengan rerumputan yang memiliki ukuran kurang lebih 165 mx 165 m. Terdapat 2 pohon beringin di tengah alun alun yang disebut 'wok' yang berasal dari kata brewok, untuk menunjukkan alat kelamin dan wanita. Serta, alun-alun Kidul dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi lain timur dan barat masing-masing dua buah.Sekarang ini, Alun-alun kidul digunakan untuk berbagai kegiatan olah raga di pagi hari dan untuk bersantai di waktu malam hari. Adapun ritual yang sejak pertama dilakukan ditempat ini adalah masangin. Dimana ritual ini adalah ritual melewati jalan di antara dua buah pohon beringin kurung (jarak antara dua pohon sekitar 12 meter) yang terletak di tengah Alun-alun dengan mata tertutup. Bagi orang yang berhasil melakukannya, konon bakal terkabul apa yang dicita – citakan.Sasana InggilSiti Hinggil dikenal juga sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad didirikan pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) dan kala itu bernama Siti Hinggil Kidul. Namun pada 1956 tepatnya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII kompleks bangunan mengalami perbaikan serta ditambah jumlah bangunannya. Seiring dengan perombakan itu, maka bangunan menjadi Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad.Pergantian waktu peringatan 200 tahun Kota Jogja.Siti Hinggil yang terdapat di sebelah selatan ini dapat menunjukkan kenaikan sukma atau kondisi bayi dalam kandungan si ibu yang sudah menunggu saatnya. Adapun jalan kiri Siti Hinggi yang disebut Pamengkang berasal dari kata Mekangkang (posisi kaki yang berjauhan satu sama lain) menunjukkan keadaan seorang ibu yang akan melahirkan.Bangunan Siti Hinggil seperti halnya Pagelaran menggunakan kerangka besi dan ditopang dengan kolom besi cor yang didatangkan dari Negeri Belanda . Bangunan Sasana Hinggil berada di bagian paling belakang Kraton. Tepatnya di antara Magangan (tempat para calon Abdi Dalem) dan sebelum Plengkung gading di ujung selatan Kraton Jogja. Luas kompleks Sasana Hinggil Dwi Abad kurang lebih 500 meter persegi, dan permukaan tanah lebih tinggi sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya.Pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, fungsi Sasana Hinggil diperluas menjadi tempat pergelaran budaya seperti tempat penyelenggaraan wayang kulit. BS Ronomartono abdi dalem di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengatakan kegiatan itu mulai dilaksanakan ketika Islam mulai masuk tanah Jawa. Tempat ini juga menjadi awal dari prosesi perjalanan pemakaman Sultan yang meninggal menuju Imogiri. Sementara itu, Siti Hinggil Kidul lebih sering digunakan untuk pertunjukan seni seperti wayang kulit, pameran, dan lain-lain.Bangsal KemandunganDi kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan . Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Bangsal Kamandungan merupakan salah satu bangsal tertua yang berada di kawasan keraton. Bangsal ini diboyong oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dari Desa Karangnongko, Sragen atau yang sebelumnya bernama Sukowati. menurut riwayat, pada zaman perang Giyanti, bangunan ini merupakan satu-satunya markas Hamengkubuwono I yang tidak dibakar oleh musuh. Maka mendapat kehormatan masuk keraton dan tidak menjadi pertama kali menjadi kali pembangunan keraton Kesultanan Yogyakarta (Tashadi, 1980:105).Kamand h ungan sendiri berasal dari kata kandungan, yaitu kandungan seorang ibu yang siap melahirkan dan akan melahirkan bayi. Bayi yang lahir saat ini, seterusnya akan dilambangkan melalui regol Gadungmlati, yang warna hijau dan putih, pada bayi yang masih suci dan tentram.Bangsal Kamandungan ini berbentuk joglo lawakan, yaitu bangunan dengan atap joglo susun dua. Dahulu bangsal Kamandhungan Kidul digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda upacara seperti tandu, jempana, joli, plangki, dan lain sebagainya. Juga benda-benda yang digunakan dalam pertunjukan wayang orang. serta d ahulu m erupakan tempat tinggal Sultan Hamengkubuwono I pada saat perang melawan VOCBangsal KemaganganBangsal Kemagangan merupakan bangunan berbentuk joglo lambang teplok, dengan sebuah selo gilang di bagian tengahnya. Kamagangan merupakan gambaran sang bayi yang telah lahir dengan selamat dan magang menjadi (calon) manusia.Bangsal Kemagangan dahulu bekerja sebagai tempat penerimaan calon pegawai (Abdi Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta kesetiaan para Abdi Dalem magang. Pada saat ini Bangsal Kemagangan digunakan untuk adalah tempat penyelenggaraan acara Lagu Bedhol, yaitu acara pagelaran wayang kulit malam suntuk, yang diadakan pada akhir setiap acara ritual., sebagai acara penutup maupun beberapa kegiatan lainnya. Pada sisi barat dan timur terdapat Panti Pareden yang berfungsi sebagai tempat pembuatan gunungan untuk upacara Garebeg. Sedangkan Bangsal Pacaosan digunakan sebagai tempat penjagaan (caos) Abdi Dalem untuk menjaga keamananKedathon/ PrabayeksaKedathon/ Prabayeksa dapat diartikan sebagai sinar yang sangat besar (Probo = Sinar Yekso = Raksasa), atau Cahaya Agung. Didalam Prabayeksa ada beberapa pedaringan (tempat tidur hias) yang berlainan hadapnya. Ini memiliki arti simbolik bahwa Keraton menghadap ke empat penjuru angin, dengan makna kemanapun manusia menghadap ia berhadapan dengan Tuhan.Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton secara keseluruhan. Halamannya paling banyak dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; familySapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.Kedaton difungsikan sebagai tempat datu, tempat ratu atau raja. Dan tempat untuk penyimpanan benda pusaka, baik pusaka, regalia, maupun benda keramat lainnya. Adapun yang dipakai untuk menyelenggarakan upacara resmi kraton, misalnya upacara ngabekten.Bangsal KencanBangsal Kencana , berarti bangsal peninggalan, dibangun pada tahun Jawa 1719, ditandai dengan Candrasengkala : Trus Satunggal Panditaning Tikus . Bangsal Kencana menggambarkan Manunggaling Kawulo-Gusti, dalam arti bersatunya Raja dan Kawula.Bangsal Kencana berwujud bangunan pendopo yang beberapa bagiannya terbuat dari emas dan dominasi warna emas yang megah, berkelas, dan penuh dengan karisma. Dahulu bangsal ini digunakan untuk latihan menari dan juga menjadi tempat disemayamkannya Sultan Hamengku Buwono IX pada 7 oktober 1988.Pada tanggal 7 Oktober 1988, pada saat wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, jenasahnya disemayamkan di bangsal Kencana. Kemudian, pada saat Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X, bangsal Kencana digunakan untuk menerima ngabekten dari para kerabat dan abdidalem keraton.Sekarang bangsal ini bekerja sebagai tempat menerima tamu, tempat persembahan persembahan putra-putri raja, dan tempat mengadakan tarian Bedaya Srimpi. Ketika bertahta, Sri Sultan duduk di singgasana di dalam bangsal Kencana agak ke belakang (dibagian Barat) dan menghadap ke Timur. Sementara tratag depan dan Kuncung digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang orang dan wayang kulit beserta gamelannya.Bangsal Sri MangantiBangsal Sri Manganti merupakan bangsal berbentuk joglo lambang gantung dengan atap berbentuk limas. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Pada zaman dahulu, bangsal Sri Manganti bekerja sebagai ruang tamu, di dalamnya terdapat sela gilang untuk tempat duduk raja apabila menemui tamu sekaligus sebagai tempat suguhan tari-tarian, sampai dengan masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V.Sri Manganti menggambarkan saat manusia akan menginjak alam barzah, dimana singgah di Bangsal Sri Manganti untuk minum dan mengingatkan manusia bahwa hidup di dunia ini seperti mampir ngombe.Selain untuk menerima tamu, bangsal Sri Manganti digunakan juga untuk sowan para abdidalem bupati serta para keluarga raja, jika di keraton Di sisi timur Bangsal Srimanganti terdapat Bangsal Trajumas yang pada saat ini digunakan untuk menyimpan beberapa benda pusaka milik Keraton Yogyakarta.Saat ini, Sri Manganti digunakan sebagai tempat pagelaran seni budaya seperti wayang setiap hari sabtu, dan yang paling menarik di situ adalah ada abdi dalem Cilik yang kadang-kadang sebagai pewayang
Bangsal PonconitiPonco = lima; Niti = meneliti, artinya meneliti dan memeriksa pancaindra dalam rangka masuk ke Siti Inggil, yakni persiapan untuk mempersatukan pikrian dan sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.Bangsal ini memiliki bentuk atap sama dengan Bangsal Witono yaitu Tajug Lambang Gantung. Sedangkan penutup atapnya adalah sirap. Bangsal ini memiliki 16 buah tiang, 4 diantaranya sebagai saka guru. Saka guru terbuat dari kayu berbentuk empat persegi panjang dengan hiasan praba warna kuning emas. Sedangkan 12 saka penanggap terbuat dari besi, warna dasar hijau berhias bunga teratai dan kembang kobis wama merah- putih, memberi kesan lembut. Langit-langit bangsal ini menggambarkan sebuah pancaran sinar untuk 'menerangi' Sultan sewaktu mengadili perkara.Bangsal Ponconiti merupakan bangunan penting di Kraton Yogyakarta yang dilihat sebelumnya sebagai pengadilan. Fungsi pengadilan ini sudah tidak berlaku. Ditambah lagi sejak Kraton Yogyakarta menjadi objek wisata, maka Bangsal Ponconiti dan ruang luarnya menjadi ramai (pengunjung, pemandu wisata, pedagang).
Bangsal WitonoYaitu bangsal dengan struktur atap tajuk, balok- balok tumpang sari, ragam hias tiang-balok. Bangsal Witono digunakan untuk menempatkan pusaka-pusaka utama Kraton (gamelan pusaka Kanjeng Kyai Gunturmadu dan Nagawilaga pada acara Sekaten sebelum dibawa ke masjidKagungan Dalem di Kauman.) pada waktu dilangsungkan Upacara Penobatan Raja dan pada waktu Upacara Garebeg Mulud tahun Dal (Jawa). Pada tebing belakang bangsal ini terdapat candrasengkala bunyi "Tinata Pirantining Madya Witana", yang berarti tahun 1855 Jawa, dan suryasengkala bunyi "Linungit Kembar Gatraning Ron" berarti tahun 1925 Masehi, menunjukkan tahun pemugaran bangsal tersebut. Bangunan ini terletak di belakang Bangsa Manguntur Tangkil.
Kawasan Bangsal Siti HinggilSitihinggil berasal dari bahasa Jawa “siti” yang artinya tanah atau area, serta “hinggil” yang artinya tinggi. Sitihinggil merupakan tanah atau daerah yang ditinggikan karena memiliki fungsi filosofis penting sebagai tempat resmi kedudukan Sultan saat miyos dan siniwaka. Miyos adalah kondisi dimana Sultan beserta pengiringnya meninggalkan kediamannya sedangkan Siniwaka adalah ketika Sultan Lengga Dampar atau duduk di singgasana.Sedangkan beberapa bangunan yang terdapat di kawasan Sitihinggil Lor adalah sebagai berikut:1. Bangsal Sitihinggil2. Bangsal Manguntur Tangkil3. Bangsal Witana4. Bangsal Kori (Kori Wetan dan Kori Kilen)5. Bale Bang6. Bale Angun-angun7. Bangsal PacaosanPada plataran ini terdapat Regol Brajanala yang menghubungkan Plataran Sitihinggil Lor dengan Plataran Kamandungan Lor.
Tarub AgungTarub Agung memiliki arti bahwa siapa yang sedang semadi atau gemar semadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berasa selalu dalam keagungan. Bangunan Tarub Agung ini memiliki denah berbentuk empat persegi, ukuran 4 x 4 meter, dan atapnya berbentuk tajug dan berdiri di atas empat tiang tinggi dari pilar besi. Tarub berarti bangunan tambahan di bagian depan, dan Agung berarti besar.Di tempat ini maupun di kantor Dalem Kori dan abdi Dalem Jaksa yang dapat digunakan untuk menyampaikan keluhan kepada Sultan, sekarang fungsi pengaduan dari bangunan ini adalah untuk tempat-tempat singga, para pembesar menunggu kedatangannya di istana dan sebagai tempat Sri Sultan mempersiapkan diri jika berjalan menuruni tangga menuju ke Alun-alun Lor.
Halamanlaran
Pada awalnya, Bangsal Pagelaran disebut Tratag Rambat, yang atapnya berupa sirap kayu. Setelah dipugar, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengganti namanya menjadi Bangsal Pagelaran. Pemugaran bangunan ini ditandai dengan candrasengkala (tahun Jawa – yang hitungannya berdasar pada bulan/candra ), yang terdapat pada bagian atas muka Bangsal Pagelaran, penanggalan dalam bahasa Jawa itu berbunyi “Panca Gana Salira Tunggal ”, yang artinya tahun 1865 dalam penanggalan Jawa. Selesainya pemugaran ini ditandai dengan suryasengkala (tahun Masehi – yang hitungannya berdasar pada matahari/surya – merah), yang terdapat di bagian atas belakang bangsal tersebut, yang berbunyi “Catur Trisula Kembang Lata ”, yang berarti tahun 1934 (Masehi).Adapun Pagelaran berasal dari kata pagel = pagol = batas. Dibangsal ini habislah perbedaan satu sama lain, laki-laki maupun perempuan, semuanya memiliki kedudukan yang sama. Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan manusia di dunia ini memiliki derajat yang sama di mata Tuhan. Selain itu aspek demokratisasi, bangsal Pagelaran ini juga menunjukkan unsur-unsur yang tidak diperlukan segala sesuatunya.Bangsal Pagelaran terletak tepat di sebelah Selatan Alun-Alun utara dengan hiasan relief di sebelah atas gerbang di bagian luarnya. Di sebelah atas di atas bagian luar relief hiasan-hiasan berupa lima lebah (tawon) yang di atas seekor buaya/biawak, relief tersebut menunjukkan tahun pagelaran yang disempurnakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.Pada zamannya, Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sedangkan saat ini Bangsal Pagelaran digunakan untuk ering digunaka nuntuk even - even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton, contohnya adalah pelaksanaan Upacara Garebeg, yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun.


0 komentar:
Emoticon